Tuesday, October 4, 2016

MENCARI JEJAK




Ayah saya bernama Daswir Tando Chaniago, kelahiran Pariaman, Sumatera Barat. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti tapi mungkin sekitar 1934-36.

Ayah saya yang berprofesi sebagai pedagang barang-barang konveksi, di tahun 70-an, selalu pergi ke Takengon, Aceh Tengah ataupun ke Lho’ Seumawe dan Bireun di Aceh Utara sebagai kota tujuan berdagang untuk wilayah Aceh. Selain itu beliau juga selalu ke Tebing Tinggi, Rantau Prapat dan Aek Kanopan untuk tujuan yang sama.

Di tahun 1972 atau 1973, tanpa sepengetahuan kami (ibu saya dan kami anak-anaknya), ternyata ayah saya telah menikah dengan seorang wanita yang belakangan hanya kami kenal dengan nama panggilannya “Bu Ipah”. Apa yang kami ketahui bahwa Bu Ipah tersebut berdarah (suku) Melayu. Dari pernikahan itu lahir seorang anak perempuan yang oleh ayah kami diberi nama ASTRANITA. Belakangan, sebagai buntut dari kekisruhan yang timbul karena ibu saya tidak terima untuk dipoligami, ayah saya akhirnya menceraikan Bu Ipah. Perceraian itu kami ketahui  dari pengakuan ayah saya sendiri dan semenjak itu maka kami tidak lagi pernah tahu keberadaan Bu Ipah dan putrinya, (adik kandung saya se-ayah) Astranita yang biasa dipanggil Ita.

Saya tidak tahu tanggal dan tahun kelahiran Ita. Apa yang masih saya ingat dia lebih muda daripada adik saya yang nomor enam, Ahmad Zain yang lahir pada bulan Mei 1975. Hal ini saya ingat dari kejadian saat Bu Ipah datang ke rumah kami di Lorong Adil di depan ???*) dimana saat itu Ita masih dalam gendongan Bu Ipah (menggunakan kain panjang) sedangkan Ahmad Zain baru pandai duduk dan merangkak.

Waktu berlalu dan takdir Allah terjadi. Tepat pada 1 Januari 1982 ayah kami meninggal dunia. Saya masih remaja tanggung yang duduk di kelas satu SMA dan saat ayah meninggal itu tidak terlintas di pikiran saya tentang adanya seorang lagi adik kami se-ayah. Sekali lagi karena sejak perceraian ayah dengan Bu Ipah maka kami tak pernah ada komunikasi dan semacamnya.

Kondisi kehidupan yang berat di kampung halaman menyebabkan ibu saya pada akhirnya merantau ke Malaysia dan dua tahun kemudian saya bersama empat orang adik menyusul kesana. Ketika saya kembali ke Medan pada tahun 1991 saya mendapat kabar dari salah seorang kerabat ayah, sebut saja bernama Z*) bahwa beberapa waktu lalu (setahun atau kurang dari itu, antara 1990-91) Bu Ipah dan putrinya Ita pernah datang ke Medan dan mampir ke rumah Z di Gang Seto / Gang K*) untuk memberitahu Z bahwa Ita akan segera menikah dengan seorang anggota TNI dan selanjutnya akan menetap di Sigli, Aceh Pidie. Menurut cerita dan pengakuan Z, saat itu ada dialog yang lebih kurang sebagai berikut :
Z              : Kalau si Ita mau kawin, kasih tau lah si Budi. Dia kan walinya ….
Bu Ipah : Ah, nggak usahlah, Kak. Awak kesini cuma mau ngasih tahu kakak aja. Kalo kakak sempat ya datanglah ke pesta si Ita …..

Tidak banyak informasi yang dapat saya korek dari Z padahal bisa dikatakan bahwa beliaulah satu-satunya orang yang paling banyak mengetahui tentang Bu Ipah dan anaknya Ita karena saat itu beliau sudah mulai uzur dan ingatannya juga mulai berkurang. Dari anak-anaknya pun tidak bisa saya dapatkan informasi karena sebagian besar mereka sudah tidak saya ketahui dimana keberadaanya. Dan kini Z pun sudah lama meninggal sehingga semakin gelaplah usaha saya untuk mencaritahu keberadaan adik saya tersebut.

Demi Allah, saya sangat menyesal kenapa saat itu Bu Ipah tidak mau menemui dan mengabari abang kami tersebut. Saya bisa mengerti bahwa mungkin Bu Ipah trauma dengan insiden kekisruhan yang dulu pernah terjadi dan khawatir kalau bang Budi atau kami akan melampiaskan kemarahan atau dendam seperti saat kekisruhan dulu. Padahal, untuk diketahui bahwa saat itu kami masih bocah ingusan yang belum paham tentang poligami, hidup bermadu, hukum syari’at dan sebagainya. Apa yang kami lakukan hanyalah semata-mata bentuk solidaritas dan kewajiban terhadap ibu kami untuk menyukai apa yang beliau suka dan ikut membenci apa yang beliau benci tanpa mengerti sebab dan alasannya.

Waktu terus berjalan dan kini sudah puluhan tahun berlalu. Dalam rentang waktu yang panjang itu adakalanya bahkan cukup sering saya berpikir tentang adik saya tersebut. Saya sudah sering mencoba mencari keberadaannya di internet khususnya di facebook tetapi belum juga menemukannya. 

Seiring usia yang semakin menua saya merasa betapa sedihnya saya bila sampai saya mati saya tidak pernah bertemu dengan seorang adik kandung saya, Ita.

Pengalaman dan nasib yang saya dan Ita alami sebenarnya adalah akibat dari ketidakfahaman ayah saya, ibu saya, Bu Ipah, Z atau pihak lain terkait tentang arti pentingnya hubungan silaturrahim dan nasab (hubungan darah). Bahwa memang ada faktor lain yang menyebabkan hilang jejak ini terjadi, misalnya keterbatasan sarana komunikasi pada zaman itu juga tidak bisa diabaikan.

Melalui blog ini saya berharap mudah-mudahan adik saya Ita membaca postingan ini dan dapat mengontak saya. Saya juga memohon kepada siapa saja yang mengenal Ita (Astranita) agar atau menyampaikan informasi ini sehingga hubungan saudara antara saya dan adik saya yang terputus selama lebih dari empat puluh tahun bisa ditautkan kembali.
Silakan HUBUNGI saya melalui telepon atau WhatsApp di 0813 8365 5129. Terima kasih.

Catatan :
*) ??? / Z / Gg. K sengaja saya rahasiakan untuk alasan keamanan. Harap maklum.