Ayah saya bernama
Daswir Tando Chaniago, kelahiran Pariaman, Sumatera Barat. Tahun kelahirannya
tidak diketahui pasti tapi mungkin sekitar 1934-36.
Ayah saya yang
berprofesi sebagai pedagang barang-barang konveksi, di tahun 70-an, selalu
pergi ke Takengon, Aceh Tengah ataupun ke Lho’ Seumawe dan Bireun di Aceh Utara
sebagai kota tujuan berdagang untuk wilayah Aceh. Selain itu beliau juga selalu
ke Tebing Tinggi, Rantau Prapat dan Aek Kanopan untuk tujuan yang sama.
Di tahun 1972 atau
1973, tanpa sepengetahuan kami (ibu saya dan kami anak-anaknya), ternyata ayah
saya telah menikah dengan seorang wanita yang belakangan hanya kami kenal
dengan nama panggilannya “Bu Ipah”. Apa yang kami ketahui bahwa Bu Ipah
tersebut berdarah (suku) Melayu. Dari pernikahan itu lahir seorang anak
perempuan yang oleh ayah kami diberi nama ASTRANITA. Belakangan, sebagai buntut
dari kekisruhan yang timbul karena ibu saya tidak terima untuk dipoligami, ayah
saya akhirnya menceraikan Bu Ipah. Perceraian itu kami ketahui dari pengakuan ayah saya sendiri dan semenjak
itu maka kami tidak lagi pernah tahu keberadaan Bu Ipah dan putrinya, (adik
kandung saya se-ayah) Astranita yang biasa dipanggil Ita.
Saya tidak tahu tanggal dan tahun kelahiran Ita. Apa yang masih saya ingat dia lebih muda
daripada adik saya yang nomor enam, Ahmad Zain yang lahir pada bulan Mei 1975.
Hal ini saya ingat dari kejadian saat Bu Ipah datang ke rumah kami di Lorong
Adil di depan ???*) dimana saat itu Ita masih dalam gendongan Bu
Ipah (menggunakan kain panjang) sedangkan Ahmad Zain baru pandai duduk dan
merangkak.
Waktu berlalu dan
takdir Allah terjadi. Tepat pada 1 Januari 1982 ayah kami meninggal dunia. Saya
masih remaja tanggung yang duduk di kelas satu SMA dan saat ayah meninggal itu tidak
terlintas di pikiran saya tentang adanya seorang lagi adik kami se-ayah. Sekali
lagi karena sejak perceraian ayah dengan Bu Ipah maka kami tak pernah ada
komunikasi dan semacamnya.
Kondisi kehidupan yang
berat di kampung halaman menyebabkan ibu saya pada akhirnya merantau ke Malaysia
dan dua tahun kemudian saya bersama empat orang adik menyusul kesana. Ketika
saya kembali ke Medan pada tahun 1991 saya mendapat kabar dari salah seorang
kerabat ayah, sebut saja bernama Z*) bahwa beberapa waktu lalu
(setahun atau kurang dari itu, antara 1990-91) Bu Ipah dan putrinya Ita pernah
datang ke Medan dan mampir ke rumah Z di Gang Seto / Gang K*) untuk
memberitahu Z bahwa Ita akan segera menikah dengan seorang anggota TNI dan
selanjutnya akan menetap di Sigli, Aceh Pidie. Menurut cerita dan pengakuan Z, saat
itu ada dialog yang lebih kurang sebagai berikut :
Z : Kalau si Ita mau kawin, kasih
tau lah si Budi. Dia kan walinya ….
Bu Ipah : Ah, nggak usahlah,
Kak. Awak kesini cuma mau ngasih tahu kakak aja. Kalo kakak sempat ya datanglah
ke pesta si Ita …..
Tidak banyak informasi
yang dapat saya korek dari Z padahal bisa dikatakan bahwa beliaulah
satu-satunya orang yang paling banyak mengetahui tentang Bu Ipah dan anaknya
Ita karena saat itu beliau sudah mulai uzur dan ingatannya juga mulai
berkurang. Dari anak-anaknya pun tidak bisa saya dapatkan informasi karena
sebagian besar mereka sudah tidak saya ketahui dimana keberadaanya. Dan kini Z
pun sudah lama meninggal sehingga semakin gelaplah usaha saya untuk mencaritahu
keberadaan adik saya tersebut.
Demi Allah, saya
sangat menyesal kenapa saat itu Bu Ipah tidak mau menemui dan mengabari abang
kami tersebut. Saya bisa mengerti bahwa mungkin Bu Ipah trauma dengan insiden
kekisruhan yang dulu pernah terjadi dan khawatir kalau bang Budi atau kami akan
melampiaskan kemarahan atau dendam seperti saat kekisruhan dulu. Padahal, untuk
diketahui bahwa saat itu kami masih bocah ingusan yang belum paham tentang
poligami, hidup bermadu, hukum syari’at dan sebagainya. Apa yang kami lakukan
hanyalah semata-mata bentuk solidaritas dan kewajiban terhadap ibu kami untuk
menyukai apa yang beliau suka dan ikut membenci apa yang beliau benci tanpa
mengerti sebab dan alasannya.
Waktu terus berjalan
dan kini sudah puluhan tahun berlalu. Dalam rentang waktu yang panjang itu
adakalanya bahkan cukup sering saya berpikir tentang adik saya tersebut. Saya
sudah sering mencoba mencari keberadaannya di internet khususnya di facebook
tetapi belum juga menemukannya.
Seiring usia yang semakin menua saya merasa
betapa sedihnya saya bila sampai saya mati saya tidak pernah bertemu dengan seorang
adik kandung saya, Ita.
Pengalaman dan nasib
yang saya dan Ita alami sebenarnya adalah akibat dari ketidakfahaman ayah saya,
ibu saya, Bu Ipah, Z atau pihak lain terkait tentang arti pentingnya hubungan silaturrahim
dan nasab (hubungan darah). Bahwa memang ada faktor lain yang menyebabkan
hilang jejak ini terjadi, misalnya keterbatasan sarana komunikasi pada zaman
itu juga tidak bisa diabaikan.
Melalui blog ini saya
berharap mudah-mudahan adik saya Ita membaca postingan ini dan dapat mengontak
saya. Saya juga memohon kepada siapa saja yang mengenal Ita (Astranita) agar atau
menyampaikan informasi ini sehingga hubungan saudara antara saya dan adik saya yang
terputus selama lebih dari empat puluh tahun bisa ditautkan kembali.
Silakan HUBUNGI saya
melalui telepon atau WhatsApp di 0813 8365 5129. Terima kasih.
Catatan :
*) ??? / Z / Gg. K sengaja saya rahasiakan untuk
alasan keamanan. Harap maklum.